Gadis Jeruk

Wednesday, September 14, 2016

Jika ada buku yang membuatku gusar, sekaligus takut, setelah membacanya, itu adalah Gadis Jeruk. Penulisnya Jostein Gaarder. Banyak sudah buku yang kubaca tapi efek gusarnya tidak melebihi kegusaranku setelah membaca buku itu. Sebenarnya buku itu nggak seram-seram amat, bahkan sangat indah. Dialog anak dan bapak yang sangat indah, menegangkan, juga, sekaligus, mengharukan. Kuakui, aku sempat meneteskan air mata di tengah pembacaan buku itu karena saking mengharukannya. Tapi masalahnya bukan soal keharuan itu. Bukan di situ. Ada bagian lain yang membuatku khawatir akan ketidakmampuanku menjaga amanah berupa anak-anak, ketiga putriku, di zaman yang makin meresahkan ini. Buku itu bahkan sempat menerbitkan setitik rasa sesal karena telah turut andil dalam menghadirkan ketiga putriku di dunia ini meski kutahu, ada tidaknya mereka adalah karena ketentuanNya semata. Aku tahu, perasaan itu salah adanya. Rasa sesal itu tak seharusnya kumunculkan. Aku merasa sangat berdosa kepada anak-anakku karena kurang memerhatikan mereka, terutama kebutuhan mereka akan perhatian, kasih sayang, dan pengajaran akan agamanya. Akupun langsung bertaubat dan memohon ampun sebanyak-banyaknya kepada Tuhan asbab kelemahan hatiku itu. Tapi bukankah manusia adalah makhluk yang lemah? Wajarlah bila mereka menyandarkan urusannya kepada yang Maha Kuat.

Membaca buku itu pula aku jadi teringat dengan sebuah ayat di akhir surat An Naba tentang penyesalan orang-orang kafir dimana mereka memilih untuk jadi tanah yang bebas perhitungan di hari akhir. Teringat pula diriku dengan perkataan sayyidina Abu Bakar yang lebih memilih untuk jadi rambut dan sayyidina Utsman bin Affan yang lebih suka untuk menjadi debu. Amboi, nikmatnya jika diri ini jadi sekeping batu di tengah padang pasir yang panas, atau air yang mengalir di sungai yang ganas. Nikmat, karena diri ini bebas perhitungan dan pembalasan di hari kemudian. Nikmat, karena aku tak perlu khawatir akan kemana diriku ini berakhir, apakah ke syurga atau ke neraka kelak, merasakan sejuknya rimbunan pepohonan atau merasa kepanasan di bawah jerangan api yang berkobar tinggi. Atau mungkin menjadi sebuah jeruk, yang langsung terbebas dari dunia yang fana setelah melakukan pelayanan purna kepada manusia yang membelah tubuhnya dan memeras semua saripatinya lalu membuangnya di selokan, di tempat sampah, dan di kebun kosong tak bernama.

Kiranya Allah ampuni semua dosa kita, maafkan segala salah kita, kuatkan kelemahan kita, lengkapi kekurangan kita, dan mengumpulkan aku, keluargaku, dirimu, keluargamu, dan kita semua di jannahNya yang mulia kelak. Amin. [libridiary]


Saaba, Juni 2016

You Might Also Like

0 comments