Mengenang Room To Read

Saturday, September 12, 2015

Awal mulanya adalah sebuah buku yang saya beli di Makassar sekitar lima tahun yang lalu. Buku yang saya dapatkan dari sebuah toko buku di bandara Sultan Hasanuddin itu kemudian menemani perjalanan saya dalam rangka mengikuti acara rekonsiliasi penerimaan tahun 2009 di Kanwil Suluttenggo Malut. Sepanjang perjalanan mulai dari berangkat sampai kembali pulang, buku itu saya baca hingga nyaris mencapai setengah bagian buku. Saya membacanya ketika di pesawat menuju Manado, ketika di hotel, dan dalam perjalanan pulang. Buku itu berjudul Room to Read yang ditulis oleh John Wood.

John Wood adalah mantan eksekutif Microsoft untuk kawasan Asia. Sebagai seorang technopreneur yang memiliki kelebihan finansial luar biasa, John kerap melakukan perjalanan keliling dunia ketiga untuk sekedar menghilangkan kepenatan. Sebuah kejadian di Nepal membuat kehidupan John berubah. Ia mendapati bahwa negeri yang indah itu ternyata sangat miskin dan kondisi pendidikannya sangat memprihatinkan.

Sebagaimana kebiasaannya yang sudah-sudah, John selalu membawa buku kemana saja ia pergi. Ketika Pasupathi, orang yang menjadi guide John selama di Nepal, mengajaknya ke sebuah desa yang ada di pegunungan Himalaya bernama Bahundanda, John mendapati sebuah fakta pelik mengenai betapa memprihatinkannya sekolah yang ada di sana. Ketika John hendak melihat perpustakaan sekolah, ia menemukan kondisi yang jauh lebih menyedihkan.

Perjalanannya ke Nepal dan kunjungannya ke sebuah sekolah di desa Bahundanda seolah menjadi titik balik bagi seorang John Wood, hatta ia telah menjadi seorang eksekutif di sebuah perusahaan teknologi kelas dunia bernama Microsoft. Maka mulailah John mengirimkan email ke sahabat-sahabatnya dan melakukan pengggalangan buku untuk Nepal. Beberapa tahun kemudian, tahun 1999, John melembagakan impiannya ini menjadi Room To Read. Sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada penyediaan buku-buku, peningkatan kualitas pendidikan, dan kesetaraan gender dalam meraih pendidikan. Organisasi ini sekarang berpusat di San Fransisco Amerika Serikat dan telah membangun 1.450 sekolah, 12.500 perpustakaan, menyediakan 10 juta lebih buku, dan 13 ribuan beasiswa jangka panjang untuk anak-anak di seluruh dunia.

Usai membaca buku itu, saya tertegun untuk beberapa saat. Pikiran saya melanglang buana dan mulai memikirkan sesuatu untuk melakukan hal yang, kurang lebih, sama dengan yang dilakukan oleh John meski untuk skala Luwuk, tempat dimana saya tinggal saat ini. Saya punya beberapa buku di rumah. Meski koleksi saya tidak terlalu banyak, dan kebanyakan buku-buku yang bergenre berat lagi membosankan, namun ada keinginan agar buku-buku ini bisa bermanfaat tidak hanya bagi saya sendiri. Maka mulailah saya menulis sebuah rencana di buku catatan yang beberapa halamannya telah dicorat-coret oleh ketiga putri saya itu. Rencana yang bermula dari sebuah buku itulah yang kini telah mewujud sebagai, dengan segala kekurangannya, Rumah Baca Jendela Ilmu.

Oleh karenanya, jika saya ditanya; kenapa harus repot-repot membuat rumah baca? Maka jawaban yang akan saya berikan, salah satunya, adalah: karena terinspirasi oleh buku Room To Read itu. Sehingga ketika saya sedang berkunjung di sebuah toko buku online, saya mendapati buku itu sudah berganti wajah meski tetap dirilis oleh penerbit yang sama. Tanpa pikir panjang, saya langsung memesan dua buku itu untuk dua cabang rumah baca saya di Luwuk. Saya berharap agar para pengelola, dan juga pengunjungnya, bisa mendapatkan manfaat dan inspirasi dari pembacaan buku itu.

Semalam, ketika dalam perjalanan pulang bersama istri, ia bercerita tentang kesulitan yang dialami oleh Rumah Baca Jendela Ilmu (RBJI) chapter Mangkio yang nyaris tanpa publikasi. Tidak seperti RBJI chapter Toili yang dikelola oleh sebuah komunitas, RBJI chapter Mangkio hanya dikelola oleh sepasang suami istri. Saya memahami kesulitan finansial mereka yang menyebabkan mereka tidak memiliki telepon berkamera sehingga bisa mendokumentasikan kegiatan yang berlangsung di rumah baca. Saya lalu menawarkan telepon berkamera milik saya yang sudah lama tidak dipakai. Telepon itu masih berfungsi sangat baik dan bisa untuk mengambil foto meski kualitas gambarnya hanya 2 MP. Istri saya menyambut tawaran itu dan akan membicarakannya dengan Faida, pengelola RBJI chapter Mangkio.

Beberapa jam sebelum obrolan bersama istri, saya bertemu dengan ibu Masdia Lamondjong. Beliau adalah kepala sekolah SD Muhammadiyah Balantak yang datang untuk ‘menagih’ janji saya memberikan buku-buku untuk perpustakaan sekolahnya. Bu Masdia datang sekitar pukul sembilan pagi ke kantor saya. Kedatangannya sekalian hendak melaporkan pajak sekolahnya. Setelah menunggu beberapa saat sampai urusannya selesai, saya akhirnya berbincang sebentar dengan beliau dan meminta foto bersama untuk dijadikan dokumentasi. SD Muhammadiyah Balantak sendiri merupakan sekolah yang saya – dan teman-teman dari komunitas Penyala Banggai, Pengajar Muda Indonesia, serta para inspirator lintas profesi – datangi beberapa hari yang lalu dalam rangka mengikuti acara Kelas Inspirasi Banggai #2 yang sengaja mengambil lokasi di Balantak. Di samping itu, beliau pula yang menampung saya dan Rahmat, salah satu peserta juga, di rumahnya selama kami berada di Balantak. Berpindahtangannya buku-buku itu kepada ibu Masdia diiringi dengan lantunan doa supaya buku-buku tersebut bisa bermanfaat buat anak-anak di sana.

Kembali ke soal Room To Read.

Pagi ini, di kamar mungil saya yang ada di bagian paling belakang rumah, saya kembali membolak-balikkan buku itu. Saya memandangi halaman-halamannya yang sudah banyak dicorat-coret, kertasnya yang terkena noda, kovernya yang sudah lecek karena sering dipegang, dan menekuri sebuah kalimat yang saya tulis di halaman muka buku itu yang berbunyi: “Pilihan terburuk adalah tidak melakukan apa-apa.”

Saya tersengat. Negeri ini memang sedang bermasalah di segala lini kehidupan. Namun memilih untuk berdiam diri dan hanya bisa mengkritisi keadaan tidak akan membuat masalah itu menjadi berkurang dan menemui jalan keluarnya. Rumah Baca Jendela Ilmu, dan beberapa usaha lain yang bergerak dalam bidang garapan yang sama, mencoba untuk menjadi bagian dari solusi dari masalah-masalah yang menggunung itu. Mungkin cahaya yang kami bawa ini masih redup, masih rentan mati karena tiupan angin, dan karenanya daya jangkau kami masih sangat terbatas. Tapi kami punya tekad yang kuat dan kami memiliki orang-orang yang siap untuk memperjuangkan tekad itu menjadi nyata meski harus mengorbankan apa-apa yang kami punya, merampas waktu-waktu kami yang sudah terbatas, dan merubah renjis tawa menjadi wajah-wajah yang dipenuhi optimisme di atas keprihatinan yang melanda bangsa ini.

Semoga. [mylibridiary]



Kilongan, September 2015 

You Might Also Like

0 comments