Bincang Buku: The Reader

Tuesday, August 19, 2014

Ada buku yang dibaca dengan penuh semangat dan karenanya waktu pun tersita demi menikmati kalimat demi kalimat yang berdesakan di dalamnya. Namun seiring makin berkurangnya jumlah halaman yang tersisa, ada semacam rasa enggan untuk membaca buku itu sampai tuntas.

Bukan, bukan karena buku itu sangat buruk, tapi lebih karena timbulnya rasa sayang di dalam hati untuk mengakhiri sebuah buku yang sangat indah. Buku yang bagus bukanlah buku yang membuat kita bersemangat saat membacanya, tapi buku yang bagus adalah buku yang membuat kita menyesal bahwa ceritanya akan segera berakhir.

Sebenarnya, bagi saya, buku-buku semacam itu ada banyak. Buku yang baru yang baru saja saya baca sampai tuntas ini salah satunya. Buku itu berjudul The Reader atau Sang Pembaca. Pengarangnya Bernhard Schlink. Buku ini judul aslinya Der Vorlender dan terbit pertama kali di Jerman pada tahun 1995 dan 1997 di Amerika dengan judul The Reader. Sementara buku yang baru saja saya baca diterbitkan oleh penerbit Elex Media Komputindo pada tahun 2012 silam.

The Reader menjadi buku Jerman pertama yang memuncaki daftar buku terlaris di The New York Times, diterjemahkan ke dalam 37 bahasa, selain bahasa Indonesia, dan sempat meraih Hanz Fallada Price di tahun 1998 silam. Buku ini telah difilmkan dengan judul The Reader dan diperankan oleh Kate Winslet, David Kross, dan Ralph Fiennes sang ‘Lord Voldemort’. Saya sendiri belum pernah menonton filmnya dengan lengkap dan hanya pernah melihat beberapa potongan adegan, ehem, syur-nya saja yang tersebar di dunia maya.

Buku ini saya dapati kali pertama dari seorang penjual buku online di facebook. Sampulnya berwarna abu-abu tua dipadu dengan putih susu dan ada foto bunga mawar di antara halaman sebuah buku. Secara perwajahan, buku itu langsung menarik perhatian saya pada pandangan pertama. Tanpa butuh waktu lama, saya langsung menghubungi sang penjual dan langsung membeli buku itu.

Waktu saya membaca buku ini di rumah, istri saya, yang sedang semangat-semangatnya membaca buku itu, bertanya buku apa yang sedang saya baca. Setelah berpikir sejenak, saya menjawabnya dengan tiga kata saja: ini buku cabul. Istri saya memasang wajah terkejutnya kepada saya dan bertanya kenapa saya membaca buku itu. Saya menjawabnya, silakan baca buku ini dan nilai sendiri. Tapi saya tetap bergeming dengan redaksi awal yang saya katakan padanya bahwa: ini buku cabul.

The Reader berisi tentang kisah percintaan yang sangat ganjil dan muram antara seorang remaja pria dengan seorang perempuan dewasa. Kalau Lolita mengisahkan tentang hubungan percintaan antara lelaki dewasa dengan gadis remaja – kalau tidak bisa dibilang gadis di bawah umur, maka buku ini jadi semacam kebalikannya. Jika narasi yang ditawarkan Nabokov melalui Humbert terasa dewasa, narasi Schlink justru sebaliknya. Ada banyak pertanyaan-pertanyaan khas remaja dari Michael Berg, sang tokoh utama yang bercerita dengan sudut pandang orang pertama, dan ketidakmengertiannya dengan dunia perempuan dewasa yang penuh tanda tanya yang terangkum dalam diri seorang Hanna Scmidt.

Novel ini sangat indah, halus, sekaligus menggelisahkan. Meski berpandangan bahwa yang dilakukan Michael dan Hanna adalah salah dan tidak sesuai dengan norma agama yang saya anut, kepiawaian Bernhard Schlink memainkan kata-kata membuat saya terpesona dengan buku yang terbagi menjadi tiga bagian ini. Benturan nilai dan cacatnya cinta tanpa berlandaskan syariat terpaksa saya letakkan terlebih dahulu untuk menimbang nilai buku ini secara bebas, meski saya sadar bahwa itu tidak mungkin. Bagaimanapun, norma-norma moral yang melandasi interaksi dua anak manusia berbeda jenis kelamin berdasarkan agama yang saya anut takkan bisa terlepas begitu saja.

Meski begitu, buku yang bernuansa muram ini punya narasi yang kuat. Berikut salah satu bagiannya:

Matanya mengamati semuanya, mulai dari mebel buatan Biedermeier, piano, jam bandul tua, lukisan, rak buku, piring-piring dan peralatan makan di atas meja. Ketika aku meninggalkannya untuk menyiapkan makanan penutup, ia sudah tidak ada di tempatnya lagi ketika aku kembali. Ia pergi ke kamar-kamar, dan sekarang berdiri di ruang kerja ayahku. Diam-diam aku bersandar ke kusen pintu dan mengawasinya. Ia membiarkan tatapannya berkeliaran di rak buku yang memenuhi dinding seperti sedang membaca teks. Lalu ia pergi ke satu rak, mengangkat jari telunjuk tangan kanannya hingga setinggi dada dan menggerakkan jarinya menelusuri punggung buku dengan perlahan. Ia berjalan ke rak berikutnya, menelusuri dengan jarinya lagi, dari punggung buku yang satu ke punggung buku yang lain, dan menjelajahi semua bagian kamar. Ia berhenti di jendela, memandang kegelapan di luar, melihat pantulan rak buku, dan melihat siluet tubuhnya di kaca.

Buku ini berakhir dengan sangat getir, dan tragis. Ini adalah cerita yang mengguncang moralitas dengan metafora-metaforanya yang padat dan indah. Tarikan-tarikan emosi yang lazim terjadi pada masa muda yang tanpa pendampingan memang kerap melahirkan kegelisahannya tersendiri. Meski ditulis oleh seorang profesor hukum, buku ini tidak kehilangan keindahan narasinya. Setidaknya, sebagai orangtua, buku ini menjadi semacam pemandu, meski tidak semuanya tepat, dalam mendampingi tumbuh kembang anak-anak saya kelak. [mylibridiary]


Kilongan, Agustus 2014  

You Might Also Like

0 comments